Dari Mizu (Air) untuk Kaze (Angin)

  • 2

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Apa kabar?

Haha, aku merasa sedikit lucu menanyakan keadaanmu disaat seperti ini. Kenapa? Entahlah. Kurasa karena meskipun kita tak saling bertukar kabar, aku tau kau sedang baik-baik saja disana.
Kaze, apa kau merindukanku?
Aku tak berharap banyak kau membaca pesan ini. Bahkan aku tak begitu mengerti kapan kau akan membuka email ini yang mungkin terkubur diantara beberapa yang masuk ke inbox-mu. Mungkin? Jika tidak, berarti aku beruntung.

Entah darimana aku harus memulai tulisan ini. Butuh waktu seharian memikirkan apa yang harus dan tidak kusampaikan padamu. Karena sepertinya semua isi otakku berebut dan berteriak untuk dituangkan kepadamu. Semoga yang akan kusampaikan kali ini, bisa menjelaskan semua hal yang tak pernah bisa kuungkapkan padamu. Ehem… baiklah. Aku mulai.

27 Mei 2015

Tepat tiga tahun penantianku sejak hari dimana kau memintaku untuk berjanji menunggumu. Bagaimana perasaanku saat menyadarinya? Aku ingin tersenyum dan hanya bisa menggaruk kepalaku yang tak gatal. Ini adalah waktu yang sangat singkat ketika kita bisa bersikap secuek ini atas apa yang membentang diantara kita. Kuakui, ini melemahkanku, tapi juga menguatkanku. Beberapa waktu yang lalu, aku sempat merasa takut. Takut jika penantianku ini hanyalah membuang waktu dan emosiku karena terlalu banyak memikirkanmu. Takut jika nantinya tak menemukan titik perjumpaan yang kita tunggu selama ini. Takut jika ternyata kita hanya membohongi perasaan kita masing-masing.

Sulit rasanya membayangkan menjadi dirimu, yang menurutku bukan tipikal orang yang suka memikirkan perasaan ataupun segala sesuatu yang ‘melow’. Mungkin malah beranggapan bahwa terlalu banyak memikirkan perasaan akan membuatmu menjadi orang bodoh. Hmmm.. kelihatannya aku sedikit setuju dengan yang satu itu. Oke. Mari hentikan pembicaraan tentang ‘KITA’ dengan masalah bernama ‘JARAK’ ini.

Kaze, mengingat bahwa aku menyukaimu hanya melalui tulisan, mungkin akan terdengar sedikit konyol bagi mereka. Tapi begitulah kenyataannya. Aku menyukaimu. Seseorang yang dulunya adalah bocah tukang gombal, pemalu, manis, dan cerdas. Seseorang yang tak pernah menuntutku atas apapun, memberikanku kebebasan, dan seseorang yang mau menemaniku mengerjakan tugas Matematika akhir semester sampai tengah malam, bahkan ponselmu masih menyala meskipun kau tertidur. Hahaha…

Tapi, sekarang semuanya berbeda. Kaze, akan kukatakan ini,
“Disini, aku menantikan kehadiramu. Terkadang aku sangat ingin menangis. menumpahkan segala rasa sakit dan kecewaku padamu. Hanya saja itu menyulitkanku ketika aku mulai merasa seperti pencundang bahkan saat membayangkan menangis untuk ‘tidak mengertinya kamu’ tentangku. Aku tak pernah memaksamu melakukan sesuatu. Ini bisa saja membuatku gila. Setiap saat aku merindukanmu, mengingatmu, dan membencimu. Bahkan menyebut namamu saja terasa menyesakkan, seolah aku terjebak dalam kotak sempit tanpa ada lubang untuk bernafas.
Kau menghilang. Kau kembali. Dan mengacuhkanku lagi. Apa ini sebuah permainan? ataukah ujian yang memang kau buat untukku? Ini seperti kita bermain pada game yang sama. Mengulangi pada level yang sama tampa pernah menyelesaikannya. Kau selalu berlari ditempat. Tapi kenapa aku merasa kau meninggalkanku ketika aku berusaha meraih tanganmu? Meski aku terjatuh, menantimu kembali, terduduk sendirian dibawah pohon, memperhatikan jalan yang pernah kau lalui saat meninggalkanku.
Apa kau melihatku? Ketika beberapa dari mereka berusaha mengulurkan tangan dan aku menolaknya hanya untuk mempercayai bahwa kau akan kembali untuk menggengam tanganku. Apa kau melihatku? Ketika aku menuliskan keluh kesahku pada puisi dan tulisan tentangmu untuk menunjukkan padamu rapuhnya aku. Apa kau melihatku? Ketika aku menyatukan kedua telapak tanganku, berharap bahwa kau bisa mendengar kalimat ‘Aku merindukanmu’ untuk kesekian kalinya.”

Kaze, perkataanku barusan, aku tak marah padamu. Itu hanya ungkapan saja.

Kaze, apa yang sebenarnya kau lakukan padaku sampai bisa menuliskan hal seperti ini? Aku menjadi seseorang dengan kemampuan berdiri sendiri tapi juga merasa terombang-ambing. Merasa sempurna tapi juga cacat. Merasa aman dan tercekat. Merasa terisi dan juga kosong secara bersamaan. You get me paralyzed.

Aku selalu ingin menanyakan hal ini, "apa ini cinta ketika aku tak mampu meletakkan hal secara benar pada tempatnya saat ia tak ada? Apa ini cinta ketika tatapan serta benakku hanya tertuju padanya kapanpun dan dimanapun aku dekat dengan seseorang yang bukan dia?"
Jika ini adalah sebuah obsesi, maka maafkan aku. Sepertinya aku memang salah sejak aku menginginkan si pengirim pesan itu untuk terus berada disisiku. Tapi, jika ini bukan sebuah obsesi, maka aku benar. Kaze, adalah cinta pertamaku.

Kaze, aku pernah membaca tulisan ini, “Love isn’t just at the first sight. Love is when you’ve always feel the same whenever you see him/her.”  Kurasa ini ada benarnya, ketika tiba-tiba melihat fotomu saja bisa membuatku tersenyum dan seperti ada sesuatu yang hangat di hati—Oke ini memalukan. Jangan tertawa atas apa yang barusan kutulis.
Kaze, kau seperti sebuah teka-teki cara menangkap angin yang sangat rumit. Sulit dipahami dan dipecakan. Aku ingin tertawa ketika menyadari bahwa dua gadis selain aku, terlihat sangat serius menaklukan teka-teki permainan ini, seperti berkompetisi mendapatkan piala utamanya. Aku tak tau ucapanku ini benar atau salah, tapi bagiku ada sedikit hal yang benar-benar tak mereka mengerti tentangmu, yang hanya aku mengerti.

Kaze (Angin), udara yang bergerak. Dia bukanlah sesuatu yang bisa diikat begitu saja. Dia akan pergi kemanapun dia suka, tapi bukan tanpa tujuan. Mengisi setiap celah dan peluang, serta meninggalkannya tanpa ada bekas. Tapi setiap apa yang di lewatinya akan tahu bahwa ia pernah disana. Tak menyukai tuntutan dan terikat dengan situasi. Bagaimana tidak? Dia adalah lambang kebebasan yang seringkali dua gadis itu lupakan – maaf mengatakan ini. Hehe –  . Mereka takkan menangkap angin dengan tekanan ataupun obsesi untuk menaklukan. Tapi mereka hanya perlu memahami situasi dan bersabar, seperti memejamkan mata ditengah padang rumput, membentangkan tangan, mengerti dan percaya bahwa dia ada. Maka dia ada.

Aku mengerti hal itu tapi kenapa masih belum memenangkan hatinya?

Oke, pertanyaan bagus. Kurasa aku tak mempunyai keberanian. Itu saja. Seperti seorang gadis kecil kucir dua berkacamata yang hanya bisa menunduk dan memperhatikan dua jempol kaki yang saling bergerak satu sama lain.

Hahaha… itu cukup menarik. Ehem! Kembali ke cerita.

Kaze, sejak dua tahun yang lalu, aku telah memahami semuanya. Meski sulit bagiku jatuh cinta pada orang lain, aku tahu bahwa aku telah jatuh cinta pada seseorang yang berbeda. Dia bukanlah seorang abege yang selengehan lagi. Ataupun bocah kemarin sore yang suka menggoda gadis-gadis dengan gombalannya.  Dia adalah seorang pria yang dewasa. Seorang pria yang  telah memahami tanggung jawab dan kewajibannya. Seorang pria penyabar dengan sedikit keras kepala. Seorang pria yang menyayangi dan bersahabat dengan ibunya. Seorang pria yang mampu merangkul banyak orang kesisinya.

Dan apa Kaze tau? Dia jugalah seorang pria, yang berpengaruh besar pada pribadiku. Dia bukanlah seseorang yang banyak berbicara padaku, tapi dalam diamnya aku mulai memahaminya. Dia bukan seseorang yang banyak bertindak padaku, tapi satu tindakannya membuatku seolah mampu mengingat selama 100 tahun. Dia seperti senantiasa membiarkanku melihatnya dengan caraku untuk memahaminya. Membuatku merasa bahwa ia melihatku dari jauh, bahkan tanpa membuka mata, aku tau dia ada. Entah darimana aku mendapatkannya, tapi kesabaran ini benar merubahku. Seperti ada yang memegangi pundakku dari belakang dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Meski sampai sekarang aku masih sulit mengerti apa yang membuatku mampu bertahan sampai sejauh ini…

Ada yang berujar padaku,  bahwa yang kurasakan adalah cinta buta tak terbalas. Apa menurutmu kalimat itu cukup kasar? Hmmm… terasa seperti tamparan bagiku. Ah, sepertinya terlalu berlebihan. Haha.

Seseorang bertanya padaku, “Kenapa kau terus menginginkannya, meskipun kau tak pernah tau kapan dan bagaimana akhirnya?”

Aku tersenyum. “Ini bukan seperti aku berusaha menunggu tanpa alasan. Ini seperti ketika aku membaca sebuah novel tebal yang tak kuketahui kapan dan bagaimana akhir dari ceritanya. Aku tak ingin terburu-buru dengan apa yang kujalani sekarang. Aku ingin semuanya terjadi bagaimana seharusnya. Dia bukanlah seseorang yang tiba-tiba melakukan sesuatu tanpa alasan. Dia memiliki kehidupan dan kesibukan yang harus ia jalani. Perasaan, bukanlah satu-satunya yang harus ia pikirkan secara berlebihan. Aku memang menginginkan ia ada setiap waktu, tapi mengingat ia memiliki tanggung jawab, sepertinya itu merepotkan. Aku seperti melihat cerminan diriku pada semua sikapnya. Jadi, itu juga yang membuatku tak menuntut kehendak padanya. Aku hanya akan berkata, ‘Aku mengerti’, ‘Bersemangatlah’, dan ‘Aku percaya padamu’. Begitulah caraku mencintainya.”

Ada kisah dari dua orang terdekat kita yang jalan ceritanya mirip dengan yang kita jalani saat ini. Hanya saja, keduanya memiliki akhir yang berbeda. Sejarah itu berulang. Tapi mana yang akan terjadi, kita tak mengetahuinya.

Kaze, diantara waktu yang tak banyak kita habiskan bersama, aku bahagia untuk semua itu. Banyak hal yang menarik dari dirimu yang membuatku tak pernah bosan mengingatnya. Matamu. Senyummu. Bahkan caramu tertawa. Dan sekarang aku akui, kau mempesona.

I don’t know how much longer that I have to put up with everything
I’ve been hiding all the truth inside my heart
Every-time we meet…
Every-time you turn to face me
Just like how winter passes and spring comes
I believe and wish that you’ll come to me as well
With just you alone, time passes
Bad days are colored into love
Can you hear my heart calling for you, loving you?
My one and only person
My treasure-like person who like a dream
My first person who blossoms like a flower
I pray everyday like habit
I’ll always look at you
My precious person who lives deep in my heart
And hope you’ll realize…
Someday.

Kaze, aku tak tau lagi apa yang harus kutuliskan disini. Kau membuatku kehabisan kata-kata. Dan kurasa airmata bukanlah sesuatu yang bisa mengungkapkan semuanya saat ini. Kau akan selalu melihatku tersenyum padamu. Meski aku tak mampu merengkuhmu ataupun menyentuh wajahmu. Aku bahagia mengenalmu. Aku ingin memilikimu. Jika Tuhan tak mengizinkan hal itu, maka aku akan bahagia untukmu.

Kaze, jika angin dan air mampu bersatu, apakah embun dipagi hari akan menjadi jawabannya?

Sampai jumpa lagi di negeri jauh.

Aku mencintaimu.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Related Post

2 komentar:

  1. best story... aku kagum dengan pilihan diksi nya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih...
      Tunggu artikel selanjutnya :)

      Hapus