Apa kabar?
Haha, aku merasa sedikit lucu menanyakan keadaanmu disaat
seperti ini. Kenapa? Entahlah. Kurasa karena meskipun kita tak saling bertukar
kabar, aku tau kau sedang baik-baik saja disana.
Kaze, apa kau merindukanku?
Aku tak berharap banyak kau
membaca pesan ini. Bahkan aku tak begitu mengerti kapan kau akan membuka email
ini yang mungkin terkubur diantara beberapa yang masuk ke inbox-mu. Mungkin?
Jika tidak, berarti aku beruntung.
Entah darimana aku harus memulai tulisan ini. Butuh waktu
seharian memikirkan apa yang harus dan tidak kusampaikan padamu. Karena
sepertinya semua isi otakku berebut dan berteriak untuk dituangkan kepadamu. Semoga
yang akan kusampaikan kali ini, bisa menjelaskan semua hal yang tak pernah bisa
kuungkapkan padamu. Ehem… baiklah. Aku mulai.
27 Mei 2015
Tepat tiga tahun penantianku sejak hari dimana kau memintaku
untuk berjanji menunggumu. Bagaimana perasaanku saat menyadarinya? Aku ingin
tersenyum dan hanya bisa menggaruk kepalaku yang tak gatal. Ini adalah waktu
yang sangat singkat ketika kita bisa bersikap secuek ini atas apa yang
membentang diantara kita. Kuakui, ini melemahkanku, tapi juga menguatkanku.
Beberapa waktu yang lalu, aku sempat merasa takut. Takut jika penantianku
ini hanyalah membuang waktu dan emosiku karena terlalu banyak memikirkanmu.
Takut jika nantinya tak menemukan titik perjumpaan yang kita tunggu selama ini.
Takut jika ternyata kita hanya membohongi perasaan kita masing-masing.
Sulit rasanya membayangkan menjadi dirimu, yang menurutku
bukan tipikal orang yang suka memikirkan perasaan ataupun segala sesuatu yang
‘melow’. Mungkin malah beranggapan bahwa terlalu banyak memikirkan perasaan
akan membuatmu menjadi orang bodoh. Hmmm.. kelihatannya aku sedikit setuju
dengan yang satu itu. Oke. Mari hentikan pembicaraan tentang ‘KITA’ dengan
masalah bernama ‘JARAK’ ini.
Kaze, mengingat bahwa aku menyukaimu hanya melalui tulisan,
mungkin akan terdengar sedikit konyol bagi mereka. Tapi begitulah kenyataannya.
Aku menyukaimu. Seseorang yang dulunya adalah bocah tukang gombal, pemalu,
manis, dan cerdas. Seseorang yang tak pernah menuntutku atas apapun,
memberikanku kebebasan, dan seseorang yang mau menemaniku mengerjakan tugas
Matematika akhir semester sampai tengah malam, bahkan ponselmu masih menyala
meskipun kau tertidur. Hahaha…
Tapi, sekarang semuanya berbeda. Kaze, akan kukatakan ini,
“Disini, aku menantikan
kehadiramu. Terkadang aku sangat ingin menangis. menumpahkan segala rasa sakit
dan kecewaku padamu. Hanya saja itu menyulitkanku ketika aku mulai merasa
seperti pencundang bahkan saat membayangkan menangis untuk ‘tidak mengertinya
kamu’ tentangku. Aku tak pernah memaksamu melakukan sesuatu. Ini bisa saja
membuatku gila. Setiap saat aku merindukanmu, mengingatmu, dan membencimu.
Bahkan menyebut namamu saja terasa menyesakkan, seolah aku terjebak dalam kotak
sempit tanpa ada lubang untuk bernafas.
Kau menghilang. Kau
kembali. Dan mengacuhkanku lagi. Apa ini sebuah permainan? ataukah ujian yang
memang kau buat untukku? Ini seperti kita bermain pada game yang sama.
Mengulangi pada level yang sama tampa pernah menyelesaikannya. Kau selalu
berlari ditempat. Tapi kenapa aku merasa kau meninggalkanku ketika aku berusaha
meraih tanganmu? Meski aku terjatuh, menantimu kembali, terduduk sendirian
dibawah pohon, memperhatikan jalan yang pernah kau lalui saat meninggalkanku.
Apa kau melihatku?
Ketika beberapa dari mereka berusaha mengulurkan tangan dan aku menolaknya hanya
untuk mempercayai bahwa kau akan kembali untuk menggengam tanganku. Apa kau
melihatku? Ketika aku menuliskan keluh kesahku pada puisi dan tulisan tentangmu
untuk menunjukkan padamu rapuhnya aku. Apa kau melihatku? Ketika aku menyatukan
kedua telapak tanganku, berharap bahwa kau bisa mendengar kalimat ‘Aku
merindukanmu’ untuk kesekian kalinya.”
Kaze, perkataanku barusan, aku tak marah padamu. Itu hanya
ungkapan saja.
Kaze, apa yang sebenarnya kau lakukan padaku sampai bisa
menuliskan hal seperti ini? Aku menjadi seseorang dengan kemampuan berdiri
sendiri tapi juga merasa terombang-ambing. Merasa sempurna tapi juga cacat.
Merasa aman dan tercekat. Merasa terisi dan juga kosong secara bersamaan. You
get me paralyzed.
Aku selalu ingin menanyakan hal ini, "apa ini cinta ketika aku
tak mampu meletakkan hal secara benar pada tempatnya saat ia tak ada? Apa ini
cinta ketika tatapan serta benakku hanya tertuju padanya kapanpun dan dimanapun
aku dekat dengan seseorang yang bukan dia?"
Jika ini adalah sebuah obsesi, maka maafkan aku. Sepertinya
aku memang salah sejak aku menginginkan si pengirim pesan itu untuk terus
berada disisiku. Tapi, jika ini bukan sebuah obsesi, maka aku benar. Kaze,
adalah cinta pertamaku.
Kaze, aku pernah membaca tulisan ini, “Love isn’t just at the first sight. Love is when you’ve always feel
the same whenever you see him/her.” Kurasa ini ada benarnya, ketika tiba-tiba
melihat fotomu saja bisa membuatku tersenyum dan seperti ada sesuatu yang
hangat di hati—Oke ini memalukan. Jangan tertawa atas apa yang barusan kutulis.
Kaze, kau seperti sebuah teka-teki cara menangkap angin yang
sangat rumit. Sulit dipahami dan dipecakan. Aku ingin tertawa ketika menyadari
bahwa dua gadis selain aku, terlihat sangat serius menaklukan teka-teki
permainan ini, seperti berkompetisi mendapatkan piala utamanya. Aku tak tau
ucapanku ini benar atau salah, tapi bagiku ada sedikit hal yang benar-benar tak
mereka mengerti tentangmu, yang hanya aku mengerti.
Kaze (Angin), udara yang bergerak. Dia bukanlah sesuatu yang
bisa diikat begitu saja. Dia akan pergi kemanapun dia suka, tapi bukan tanpa
tujuan. Mengisi setiap celah dan peluang, serta meninggalkannya tanpa ada
bekas. Tapi setiap apa yang di lewatinya akan tahu bahwa ia pernah disana. Tak
menyukai tuntutan dan terikat dengan situasi. Bagaimana tidak? Dia adalah
lambang kebebasan yang seringkali dua gadis itu lupakan – maaf mengatakan ini.
Hehe – . Mereka takkan menangkap angin
dengan tekanan ataupun obsesi untuk menaklukan. Tapi mereka hanya perlu
memahami situasi dan bersabar, seperti memejamkan mata ditengah padang rumput,
membentangkan tangan, mengerti dan percaya bahwa dia ada. Maka dia ada.
Aku mengerti hal itu tapi kenapa masih belum memenangkan
hatinya?
Oke, pertanyaan bagus. Kurasa aku tak mempunyai keberanian.
Itu saja. Seperti seorang gadis kecil kucir dua berkacamata yang hanya bisa
menunduk dan memperhatikan dua jempol kaki yang saling bergerak satu sama
lain.
Hahaha… itu cukup menarik. Ehem! Kembali ke cerita.
Kaze, sejak dua tahun yang lalu, aku telah memahami semuanya.
Meski sulit bagiku jatuh cinta pada orang lain, aku tahu bahwa aku telah jatuh
cinta pada seseorang yang berbeda. Dia bukanlah seorang abege yang selengehan
lagi. Ataupun bocah kemarin sore yang suka menggoda gadis-gadis dengan gombalannya.
Dia adalah seorang pria yang dewasa.
Seorang pria yang telah memahami
tanggung jawab dan kewajibannya. Seorang pria penyabar dengan sedikit keras
kepala. Seorang pria yang menyayangi dan bersahabat dengan ibunya. Seorang pria
yang mampu merangkul banyak orang kesisinya.
Dan apa Kaze tau? Dia jugalah seorang pria, yang berpengaruh
besar pada pribadiku. Dia bukanlah seseorang yang banyak berbicara padaku, tapi
dalam diamnya aku mulai memahaminya. Dia bukan seseorang yang banyak bertindak
padaku, tapi satu tindakannya membuatku seolah mampu mengingat selama 100
tahun. Dia seperti senantiasa membiarkanku melihatnya dengan caraku untuk
memahaminya. Membuatku merasa bahwa ia melihatku dari jauh, bahkan tanpa
membuka mata, aku tau dia ada. Entah darimana aku mendapatkannya, tapi
kesabaran ini benar merubahku. Seperti ada yang memegangi pundakku dari
belakang dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Meski sampai sekarang aku masih sulit mengerti apa yang
membuatku mampu bertahan sampai sejauh ini…
Ada yang berujar padaku,
bahwa yang kurasakan adalah cinta buta tak terbalas. Apa menurutmu
kalimat itu cukup kasar? Hmmm… terasa seperti tamparan bagiku. Ah, sepertinya
terlalu berlebihan. Haha.
Seseorang bertanya
padaku, “Kenapa kau terus menginginkannya, meskipun kau tak pernah tau kapan
dan bagaimana akhirnya?”
Aku tersenyum. “Ini
bukan seperti aku berusaha menunggu tanpa alasan. Ini seperti ketika aku
membaca sebuah novel tebal yang tak kuketahui kapan dan bagaimana akhir dari
ceritanya. Aku tak ingin terburu-buru dengan apa yang kujalani sekarang. Aku
ingin semuanya terjadi bagaimana seharusnya. Dia bukanlah seseorang yang
tiba-tiba melakukan sesuatu tanpa alasan. Dia memiliki kehidupan dan kesibukan
yang harus ia jalani. Perasaan, bukanlah satu-satunya yang harus ia pikirkan
secara berlebihan. Aku memang menginginkan ia ada setiap waktu, tapi mengingat
ia memiliki tanggung jawab, sepertinya itu merepotkan. Aku seperti melihat cerminan
diriku pada semua sikapnya. Jadi, itu juga yang membuatku tak menuntut kehendak
padanya. Aku hanya akan berkata, ‘Aku mengerti’, ‘Bersemangatlah’, dan ‘Aku
percaya padamu’. Begitulah caraku mencintainya.”
Ada kisah dari dua orang terdekat kita yang jalan ceritanya
mirip dengan yang kita jalani saat ini. Hanya saja, keduanya memiliki akhir
yang berbeda. Sejarah itu berulang. Tapi mana yang akan terjadi, kita tak
mengetahuinya.
Kaze, diantara waktu yang tak banyak kita habiskan bersama,
aku bahagia untuk semua itu. Banyak hal yang menarik dari dirimu yang membuatku
tak pernah bosan mengingatnya. Matamu. Senyummu. Bahkan caramu tertawa. Dan
sekarang aku akui, kau mempesona.
I don’t know how much longer that I have to put up with everything
I’ve been hiding all the truth inside my heart
Every-time we meet…
Every-time you turn to face me
Just like how winter passes and spring comes
I believe and wish that you’ll come to me as well
With just you alone, time passes
Bad days are colored into love
Can you hear my heart calling for you, loving you?
My one and only person
My treasure-like person who like a dream
My first person who blossoms like a flower
I pray everyday like habit
I’ll always look at you
My precious person who lives deep in my heart
And hope you’ll realize…
Someday.
Kaze, aku tak tau lagi apa yang harus kutuliskan disini. Kau
membuatku kehabisan kata-kata. Dan kurasa airmata bukanlah sesuatu yang bisa
mengungkapkan semuanya saat ini. Kau akan selalu melihatku tersenyum padamu.
Meski aku tak mampu merengkuhmu ataupun menyentuh wajahmu. Aku bahagia
mengenalmu. Aku ingin memilikimu. Jika Tuhan tak mengizinkan hal itu, maka aku
akan bahagia untukmu.
Kaze, jika angin dan air mampu bersatu, apakah embun
dipagi hari akan menjadi jawabannya?
Sampai jumpa lagi di negeri jauh.
Aku mencintaimu.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
best story... aku kagum dengan pilihan diksi nya...
BalasHapusTerima kasih...
HapusTunggu artikel selanjutnya :)